
Friday, May 30, 2008
Thursday, May 29, 2008
Laila tak mampir di New York, begitu juga saya

Di taman ini aku adalah seekor burung. Terbang beribu-ribu mil dari sebuah negeri mencari musim. Adakah keindahan perlu dinamai?
Saya sudah lupa sama lead Saman yang heboh di tahun 98-an itu. Tapi saya masih ingat nama Central Park yang dipakai setting tempat dalam lead novel Ayu Utami itu.
Sayangnya, selain Laila, tampaknya saya juga bakal tak mampir di New York. Jadwal saya di DC padat sekali. Rasanya harus punya banyak waktu untuk bisa jalan ke New York dari DC.
Tapi mungkin juga tak perlu ke Central Park. Saya juga bisa lihat banyak taman di sini. Bahkan begitu membuka jendela kamar. Selemparan batu dari kamar sudah ada Farragut Square Park.
Kecil memang, jauh lebih kecil dari Taman Menteng ciptaan Bang Yos. Mungkin cuma sebesar Bunderan HI.
Tapi cukuplah untuk sebuah taman, lengkap dengan pohon, tupai, dan burung. Memang tidak seindah kota-kota di Eropa, seperti Kassel, Gotingen, Hannover, Zurich, atau Innsbruch yang jauh lebih klasik, yang selalu dipenuhi burung merpati (Saya tidak masukkan Paris karena terlalu kumuh).
Bangku-bangku di taman kota DC juga banyak ditiduri para homeless, sebagian besar negro, latin, atau Chinese, belum pernah ketemu yang dari Indonesia. Toh itu tidak mengurangi keindahan kota DC.
Saya jadi ingat ke ribuan kilometer dari tempat saya sekarang, ke Jakarta.
Tidak heran, beberapa waktu lalu seorang wartawan AFP (dari Inggris kalo nggak salah) yang mampir ke Jakarta sempat membuat fitur tentang Ibukota kita dengan sangat menyedihkan.
Dengan sangat menyesal, saya kira dalam beberapa hal dia menulis dengan benar. Jakarta cuma punya dua city park, Monas dan Taman Menteng. Yang lain fungsinya hanya basa-basi. Pusat interaksi warga kota sudah beralih ke mal-mal.
Dia masih mencatat banyak indikator lagi yang menjadikan daya saing jakarta dengan kota-kota metropolitan lain di dunia menjadi sangat rendah. Tentunya termasuk transportasi publik yang masih memprihatinkan.
Kebetulan, pesawat dari Minnesota ke DC yang saya tumpangi beberapa waktu lalu terbang agak rendah. Saya jadi bisa lihat dengan jelas lansekap Amerika Serikat yang masih dipenuhi hutan. Tak jauh beda kalau kita lihat dari Google Earth.
Bagaimana dengan Indonesia? Laju deforestrasi sangat menyedihkan. Sebagian memang karena ulah negara maju, tapi tentu kita sendiri yang punya tanggung jawab lebih besar.
Ah sudahlah. Tak banyak berguna memaki negeri sendiri. Mudah-mudahan saja ada yang memulai.
Salam,
Sayangnya, selain Laila, tampaknya saya juga bakal tak mampir di New York. Jadwal saya di DC padat sekali. Rasanya harus punya banyak waktu untuk bisa jalan ke New York dari DC.
Tapi mungkin juga tak perlu ke Central Park. Saya juga bisa lihat banyak taman di sini. Bahkan begitu membuka jendela kamar. Selemparan batu dari kamar sudah ada Farragut Square Park.
Kecil memang, jauh lebih kecil dari Taman Menteng ciptaan Bang Yos. Mungkin cuma sebesar Bunderan HI.
Tapi cukuplah untuk sebuah taman, lengkap dengan pohon, tupai, dan burung. Memang tidak seindah kota-kota di Eropa, seperti Kassel, Gotingen, Hannover, Zurich, atau Innsbruch yang jauh lebih klasik, yang selalu dipenuhi burung merpati (Saya tidak masukkan Paris karena terlalu kumuh).
Bangku-bangku di taman kota DC juga banyak ditiduri para homeless, sebagian besar negro, latin, atau Chinese, belum pernah ketemu yang dari Indonesia. Toh itu tidak mengurangi keindahan kota DC.
Saya jadi ingat ke ribuan kilometer dari tempat saya sekarang, ke Jakarta.
Tidak heran, beberapa waktu lalu seorang wartawan AFP (dari Inggris kalo nggak salah) yang mampir ke Jakarta sempat membuat fitur tentang Ibukota kita dengan sangat menyedihkan.
Dengan sangat menyesal, saya kira dalam beberapa hal dia menulis dengan benar. Jakarta cuma punya dua city park, Monas dan Taman Menteng. Yang lain fungsinya hanya basa-basi. Pusat interaksi warga kota sudah beralih ke mal-mal.
Dia masih mencatat banyak indikator lagi yang menjadikan daya saing jakarta dengan kota-kota metropolitan lain di dunia menjadi sangat rendah. Tentunya termasuk transportasi publik yang masih memprihatinkan.
Kebetulan, pesawat dari Minnesota ke DC yang saya tumpangi beberapa waktu lalu terbang agak rendah. Saya jadi bisa lihat dengan jelas lansekap Amerika Serikat yang masih dipenuhi hutan. Tak jauh beda kalau kita lihat dari Google Earth.
Bagaimana dengan Indonesia? Laju deforestrasi sangat menyedihkan. Sebagian memang karena ulah negara maju, tapi tentu kita sendiri yang punya tanggung jawab lebih besar.
Ah sudahlah. Tak banyak berguna memaki negeri sendiri. Mudah-mudahan saja ada yang memulai.
Salam,
Menjelang jam 3 pagi di DC.
Subscribe to:
Comments (Atom)

