Thursday, January 3, 2008

Peta Jalan Bali masih sisakan banyak catatan


NUSA DUA, Bali: Peta Jalan Bali yang berhasil disepakati Konferensi Perubahan Iklim dinilai masih menyisakan banyak catatan. Sebagian delegasi dan kalangan LSM menilai forum itu belum menghasilkan kesepakatan yang maksimal.

Delegasi RI pada Konferensi Para Pihak ke-13 UNFCCC sendiri menyatakan kepuasannya terhadap hasil akhir yang dicapai konferensi tersebut.

Keputusan Australia untuk meratifikasi Protokol Kyoto dan komitmen AS untuk ikut dalam komitmen penurunan emisi gas rumah kaca pasca 2012 dinilai merupakan keberhasilan penyelenggaraan COP-13.

“Hasil ini sudah melampaui target yang kita tetapkan,” ujar Ketua Delegasi RI Emil Salim kepada Bisnis di Bandara Ngurah Rai, sesaat setelah konferensi ditutup.

Bagi Indonesia, keputusan politik dua negara itu diharapkan dapat mendorong efektivitas penurunan emisi gas rumah kaca dalam skala global.

Menurut dia, Protokol Kyoto sebelum ini sudah berhasil memasukkan negara-negara Eropa dalam kesepakatan penurunan emisi gas rumah kaca, tetapi belum berhasil mengikat AS dan Australia karena kedua negara itu menolak meratifikasi.

Akibatnya, 40% dari CO2 yang dihasilkan kedua negara itu selama ini tidak dapat dikendalikan oleh kesepakatan Protokol Kyoto.

Dengan bergabungnya Australia, berarti emisi karbon yang belum dapat dikendalikan menjadi lebih kecil lagi prosentasenya. Apalagi jika komitmen AS nanti benar-benar dilaksanakan.

Dia menilai perubahan sikap Australia dan melunaknya sikap AS dalam konferensi perubahan iklim sudah dapat dikatakan sebagai suatu kemajuan yang sangat pesat.

Namun, menurut dia, selama George Bush masih menjadi presiden, posisi AS masih belum akan berubah. Perubahan sikap delegasi AS dalam konferensi UNFCCC terjadi karena gencarnya tekanan dari sebagian besar negara di forum tersebut.

Belum memuaskan

Meski begitu, keputusan akhir yang dicapai COP-13 itu sebetulnya belum memuaskan banyak pihak, bahkan sebagian delegasi sendiri. Kalangan LSM juga memberikan banyak catatan terhadap perkembangan di Nusa Dua.

Direktur Eksekutif WALHI Chalid Muhammad menilai COP-13 ditutup dengan hasil yang tidak maksimal karena substansi persoalan terkait dengan kesepakatan penurunan emisi GRK pada negara maju tidak berhasil dicapai.

Terkait sikap negara maju, dia mengatakan seharusnya sejak awal Indonesia dapat membangun blok yang kuat untuk mengatasi tarik ulur AS dan negara-negara Annex 1, karena strategi semacam itu sebetulnya sudah dapat dibaca sejak awal.

Bagi Indonesia, kesepakatan Peta Jalan Bali harus menghasilkan langkah konkrit segera setelah konferensi ditutup, yaitu terkait dengan upaya pengelolaan hutan dan lingkungan secara lebih baik.

Jaringan LSM Oxfam juga membuat sejumlah catatan terhadap isu mitigasi, adaptasi, transfer teknologi, maupun pendanaan yang dicapai COP-13.

Dalam hal mitigasi, Bali Roadmap dinilai sudah memberi jalan terhadap langkah ke depan penurunan emisi.

Namun, keputusan Australia untuk meratifikasi Protokol Kyoto dan komitmen AS untuk jangka panjang masih diragukan dapat mengurangi emisi karbon secara global.

COP-13 juga belum berhasil menyepakati besaran penurunan emisi gas rumah kaca pada negara-negara maju pasca 2012.

Di dalam negosiasi Protokol Kyoto, kisaran reduksi emisi 25%-40% hanya merupakan referensi, bukan target konkrit.

Terkait dana adaptasi, komitmen pada Bali Roadmap dinilai masih belum cukup untuk mendukung kebutuhan adaptasi pada negara berkembang. Negara maju juga tidak terikat mandat untuk menjalankan komitmen itu.

Dalam soal transfer teknologi, meski dicapai kemajuan dalam menjalankan program strategik dan pengembangan teknologi, tetapi Bali Roadmap masih belum cukup memberikan jaminan kepada negara miskin untuk mengadopsi teknologi ramah lingkungan.

Di sisi lain, Bali Roadmap juga menghasilkan kemajuan dalam komitmen pendanaan oleh negara maju, tetapi komitmen itu juga belum bersifat mengikat.